Puisi-Puisi Fatin Hamama

HIRA
Fatin Hamama:
Mungkin kita harus kembali ke Gua Hira sukma
Bersemedi dalam hening yang bening ke lubuk diri mencari segumpal darah dari qalam yang tenggelam
Menyepi dalam senyap untuk pergi
menemui dan membangunkan diri yang berselimut tidur dengan mimpi yang tidak lelap
Menunggu kembali malaikat turun mengabarkan dan mengajarkan membaca
Karena kita kehilangan huruf sambung dan kata kerja
Kita selalu diganggu kata sifat dan kata ganti orang ketiga
Kita menyusun risalah yang tak terlampir menjadi kitab
Kita alpa membaca tanda
Kita meninggalkan marka
Dan berjalan belok kanan kiri
Sementara dalam doa minta jalan lurus
Hira dalam jiwa tanpa lentera
Kita disamarkan purnama
Dan bayang bayang yang tidak setia meninggalkan dalam gelap di kala gelita
Kita kehilangan shaf shaf tempat berbaris
Kita menciptakan qiblat sendiri dan menuding imam tak fasih
Sementara kita mengamini syawat dan kecamuk dunia
Hira yang bersembunyi di kedalaman sukma mengetuk ngetuk dinding pintu hati
kita pandai untuk abai
Sampai ketakutan dan kelaparan tiba
kita baru merasa gamang
Corona memenjarakan
Tak ada sipir tapi kita diintai dan tersingkir, dirajam waktu menemu jalan buntu
menghitung hitung hari sampai kapan dan pabila diam di kemah kemah
yang kita sebut rumah
Kita dijeruji bosan dan resah
Lalu menggapai tangan tangan Tuhan
Wahai.. kesepian yang purna
Memasungkan kita pada sunyi
Sempurna sunyi
Bagai Hira yang memanggil manggil
Kita jauh berlari menghindar dan menggigil
Namun kembali pada persuaan
masuk ke gua pertapaan
Iqra ..
#fham70520.
#kpdukuh.
BERAS BATU
Fatin Hamama:
pagi buta ibu ke pasar hendak membeli beras
setelah semalam ia peras peluh dan keringatnya menyapu jalan raya
sawah ladang dalam cahaya bulan
dipancang tiang tiang beton
dan selokan dialiri air matanya
di pasar orang orang begitu sunyi
semua lapak sepi
pedagang kehabisan kata menawarkan dagangannya
tak ada hasil dalam kampung yang dapat ditawarkan
semua dengan cap dan ditulis dengan cat merah impor
dengan harga dan pajak yang tinggi
ibu mendekati pedagang beras dengan cemas
dia tawar beras paling murah
beras yang tak jelas lagi bulirnya
bercampur kutu dan gabah tak bernas
di tangannya
selembar harapan lusuh dan yatim
mengulur pilu
"adakah beras yang dapat kutawar" bisiknya pelan
pedagang menyeret senyum yang kaku
membalas memberikan segenggam batu
ibu pulang menanak batu
di periuk tanah
dengan api yang redup dari ranting pohon halaman yang gugur
ibu berdiang melerai dingin lapar yang gagu
di pelanta dapur anak anak meringkuk tertidur menunggu
menganyam mimpi
makan besar pada pesta dan kenduri kampung
di seberang jalan
di lindap kota
di bawah lampu kristal dan dingin ac para tuan sendawa kekenyangan
di tungku yang tinggal abu
di periuk yang mulai dingin
rebusan batu ibu
pecah dan berpasir
meluka lidah
dalam mimpi yang tawar dan pudar.
#fhamama30418.
Fatin Hamama Rijal Syam, (lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, 15 November 1967; umur 52 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karya-karyanya berupa puisi yang diterbitkan di berbagai media massa. Fatin dikenal juga sebagai penyair yang kerap menulis puisi-puisi relijius dan menampilkan di panggung pertunjukan, dalam negeri dan mancanegara.
Komentar